Aku Janji
Oleh Ranita Oktavia
Apa harus aku bertahan, sedang kamu tak lagi pernah memberiku kabar?
Sendiri di temani secangkir kopi hangat dan sebuah novel. Rerintik
hujan di luar masih setia bersenandung, harmoni alam yang sungguh indah semakin
menghanyutkan dalam dunia kecilku. Hawa dingin mulai menusuk tulangku. Sesekali
aku tersenyum, berharap akhir kisahku akan sama seperti ending cerita yang kubaca.
Sang tokoh utama yang masih tetap tersenyum meskipun masalah datang silih
berganti.
Aku menyunggingkan senyum kecut, mencoba menarik urat-urat pipi 3
cm ke kiri dan 3 cm ke kanan. Dua minggu tanpa kabar darimu, aku masih
menanggapi dengan positif mungkin kamu sedang sibuk. Aku cemas tapi tak ingin
bertindak gegabah. Aku takut tapi tetap tak mau menuduhmu dengan prasangka. Aku
khawatir tapi percayaku untukmu jauh lebih besar. Dan akhirnya lagi lagi aku
memilih diam.
Hujan masih setia dengan nyanyiannya. Sepertinya kali ini bumi
benar-benar ingin menumpahkan semua kesedihan yang ia punya. Ku lirik
sekeliling, hanya ada beberapa orang di sekitarku yang masih bertahan di sini.
Pandanganku jatuh pada dua orang muda-mudi yang tengah bercengkarama,
bahagianya mereka fikirku. Hatiku berdesir, kembali menemukanmu dalam memoriku.
Seandainya kamu ada disini mungkin aku tidak akan merasa begitu kesepian.
Berkali-kali aku berucap rindu, sesering apa pun aku menangis pilu.
Kamu tetap tidak akan menghubungiku segera. Terkadang aku iri melihat
orang-orang di sekitarku bisa melepas rindu dengan mudahnya, bercengkrama setiap
hari. Tertawa tanpa beban. Meski begitu aku tetap bertahan, karena menurutku
rasa rindu itu indah bila di nikmati dan bila waktunya nanti kita akan bertemu.
Saat itulah segala rasa akan bercampur baur menjadi satu yang akhirnya akan
bermuara pada kebahagiaan. Buah sabar itu manis, begitu katamu.
Hari-hari kemudian, aku masih tanpamu. Tetap sendiri dan bertahan
dengan hatiku. Seringkali aku bertanya pada malam, apa mungkin kamu tidak
sedang sendiri disana? Apa mungkin kamu lupa aku?
“Hai...” aku menoleh, suara yang tidak asing bagiku. Ya, siapa lagi
dia kalau bukan sahabatku, Rendi. Aku hanya menyambut sapaannya dengan senyuman
yang sedikit di paksakan. “Pasti mikirin dia lagi. Coba kamu telepon dia lagi sekarang, mungkin
nomornya sudah aktif.”
“Percuma, Ren.”
“Rendi...Bintang... Aku cari kalian dari tadi, ternyata malah di
sini?” Zeze berteriak dengan suara khasnya.
“Aduh, pagi-pagi suaranya masih aja gak bisa di kontrol. Untung gak
rubuh nih gedung neng.” Tanggap Rendi.
“Apaan sih, Ren? Gini-gini aku kan cantik.”
“Gak nyambung.”
Dua orang di hadapanku inilah yang setiap hari selalu ada untukku.
Menghibur dengan banyolan-banyolan ringan yang renyah. Mereka obat paling ampuh
untuk hati yang gamang. Tertawa bersama mereka ialah hal paling menyenangkan
yang pernah ada. Tanpa beban, tanpa rasa takut dan khawatir dikarenakan kamu.
Setiap kali namamu terlintas dalam benakku rasa takut dan cemas itu
selalu datang lagi. Jujur aku takut kehilanganmu. Walaupun berkali-kali aku
meyakinkan diri, kamu disana memang benar-benar sedang serius dengan sekolahmu,
tapi tetap saja rasa curiga itu selalu menghantuiku. Hampir satu bulan, tapi
kamu tetap tidak punya waktu untuk sekedar mengatakan kamu baik-baik saja
disana.
Aku memang tidak setegar tokoh-tokoh wanita di novel yang sering
aku baca. Dan kamu pasti tahu itu.
“Bintang, maaf ya.” Zeze berucap tiba-tiba.
“Maaf? Buat apa, Ze?”
“Semuanya, Bintang.” Zeze tertunduk. Wajah cerianya tadi
berangsur-angsur menghilang berganti penyesalan yang entah aku sendiri tidak
tahu kenapa.
“Apa pun itu, selalu ada maaf untuk sahabatku.” Zeze spontan
memelukku.
“Kok, jadi mellow gini, sih. Udah, ah. Mending dengerin aku nyanyi
aja, deh.” Tanpa ada persetujuaan dari aku dan Zeze, Rendi sudah bermain dengan
gitarnya. Suara merdunya, menyihirku. Sabar, lagu yang di populerkan Afgan
itulah yang di mainkan Rendi. Rasa nyaman membuatku hanyut dalam setiap ritme
yang di perdengarkan. Dan sekali lagi, tanpa kamu tahu aku berharap kalau yang
ada di hadapanku kini adalah kamu.
Sebentar lagi aku akan lulus SMA tapi kamu masih belum memberiku
kabar. Aku makin bimbang. Sikapmu tak tertebak. Bahkan Zeze pun kini mulai
menjauh, entah apa salahku. Sepertinya kalian berdua benar-benar kompak
berencana untuk pergi.
Setiap kali berpapasan, setiap kali itu pula Zeze mengindari aku.
Seharusnya di akhir putih abu-abu ini kita mengukir kisah-kisah indah bukan
justru saling menutup diri.
“Ren, Zeze kenapa, sih? Tiap kali ketemu aku, pasti dia mengindar.”
Suatu hari aku bertanya pada Rendi. Namun Rendi hanya mengangkat bahunya
menandakan ia pun tidak tahu.
“Bintang, kalau suatu saat nanti kita pisah kamu harus jaga diri
baik-baik, ya.”
“Kok, gitu sih? Kamu kan udah janji sama aku, kalau kita bakal satu
universitas nanti.”
“Tapi aku harus pergi, Bintang. Aku harus ikut orang tua aku ke
Kalimantan. Maaf, ya.” Ku lirik Rendi, raut wajahnya terlihat sedih. Ia tidak
sedang berbohong, ia jujur. Satu lagi orang spesialku memilih pergi. “Kamu
baik-baik aja kan, Bintang.” Aku hanya mengangguk lemah. “Jaga hati kamu, ya.
Jangan sering sedih, kamu harus kayak bintang yang tetap bersinar sekalipun langit
itu sunyi. Jangan keseringan mikirin dia, karena dia juga belum tentu mikirin
kamu. Kamu harus kuat. Ingat aku selalu ada di dekat kamu, disini.” Rendi
berucap lagi, kali ini sambil menunjuk dadanya tempat hatinya tersimpan.
“Aku janji, aku akan selalu tersenyum dalam keadaan apa pun.”
Batinku menangis, menyadari kisah itu telah lama berlalu. Hampir
enam tahun yang lalu. Saat terakhir kali berpapasan dengan Zeze pun pertemuan
terakhirku dengan Rendi. Dan aku masih memegang janjiku, aku akan tetap
tersenyum.
Enam tahun yang lalu juga, aku tidak pernah mendengar kabar darimu
lagi. Cinta pertamaku yang sampai saat ini masih tetap aku pertahankan
kedudukannya di hatiku. Entah ini memang cinta atau hanya obsesi semata, yang
kutahu bersabar itu indah. Menutup hati untuk semua orang, hanya demi orang
yang tak berhati sepertimu.
Aku ingin menangis, namun percuma. Itu takkan mendatangkanmu
kehadapanku. Aku ingin menyusulmu, namun dimana kamu berpijak sekarang pun aku
tidak tahu. Bahkan mungkin saat aku menemukanmu nantinya, kamu sudah tidak
mengenaliku lagi. Fikiran negatif penuh kecurigaan yang pada akhirnya selalu kutepis
hingga menarik kesimpulan jodoh pasti bertemu.
“Bintang, kamu masih ingat Rendi, kan?” Indah membuyarkan
lamunanku.
“Ya, iyalah, In. Emang kenapa?”
“Aku dengar dia mau pulang kesini.”
“Bener?”
“Iya...”
Tidak ada yang lebih bahagia, selain mendengar kepulangan sahabat
tersayang. Kabar yang entah kapan akan terwujud itu, telah mengukirkan satu
harapan di hati. Setidaknya satu orang yang paling ku tunggu akan segera
pulang.
Satu-satunya yang tersisa memang hanya harapan. Karena sabar hampir
kehilangan tempat.
“Bintang, ini ada titipan buat kamu,” lelaki berkaca mata itu
memberikan sesuatu.
“Dari siapa?”
“Aku juga gak kenal. Dia cuma bilang tolong kasih ini sama
Bintang.”
“Oh, gitu. Makasih, ya.” Sebisa mungkin aku mencoba tersenyum,
padahal sejujurnya entah kenapa rasanya aku ingin sekali menangis.
Perlahan ku robek plastik pembungkus benda itu. Setelah terbuka,
ternyata sebuah undangan dan surat kutemukan di dalamnya. Air mataku luruh
seketika, apa yang aku takutkan terjadi jua. Panantianku berbalas duka. Enam
tahun menghilang tanpa kabar, enam tahun memilih menjauh dariku inikah
jawabannya. Tubuhku lemas seketika, terbujur kaku di antara hujan.
Zeze dan Reno akan bertunangan malam ini. Apa ini arti dari permintaan
maaf Zeze sebelum dia menjauhiku.
Tidak. Kenapa aku harus bersedih, bukankah selama ini aku bisa
tanpa mereka. Selama ini aku tertawa bukan karena mereka. Seharusnya aku
gembira mendengar kabar ini. Zeze yang dulu selalu bersikap acuh pada lelaki,
kini sudah menemukan tambatan hatinya. Dan itu Reno, orang yang paling aku
rindukan kehadirannya.
Senyum dan tangis menyatu. Lagi lagi aku harus tetap mencoba kuat.
Aku harus tersenyum, itu janjiku. Ku sobek paksa amplop biru pemberian itu.
Dear Bintang
Maaf, kalau aku terlalu lama membuatmu menunggu. Maaf, karena tak
pernah ada kabar yang ku suguhkan untukmu. Maaf, jika aku harus hadir bersamaan
dengan kabar ini. Aku memilih menjauh darimu secara perlahan, karena aku takut
kamu akan sedih karena hal ini. Bintang, berjanjilah kamu akan datang saat
pesta pertunanganku nanti. Aku merindukan kamu, Bintang.
Salam
rindu
Reno
Air mata kembali menganak sungai, kamu tahu tidak ada hal paling
menyedihkan selain di bohongi bagiku saat ini. Kamu tahu enam tahun penantianku
hanya terbuang percuma. Aku bodoh menunggu orang yang sama sekali tidak pernah
mempedulikanku. Benar kata Rendi saat itu, aku tidak boleh terlalu sering
memikirkan kamu yang belum tentu memikirkanku. Kamu benar-benar salah Reno,
justru caramu yang seperti inilah yang lebih menyakitkan untukku. Lihatlah aku
sekarang, Bintang yang kamu kenal tak lebih dari kupu-kupu yang kehilangan
warnanya.
Rasaku, memang bukan rasamu Reno. Tapi apa salahnya kamu tidak
bertindak seegois ini padaku. Apa salahnya, dulu kamu memberiku penjelasan agar
aku tidak berharap banyak padamu. Kamu jahat, Reno.
Berbekal tekad, kuyakinkan hati untuk tetap melangkah di antara
mereka yang turut berbahagia atas kalian. Tidak ada orang lain yang ku cari
selain kalian berdua. Hingga ku temukan kalian yang sedang tertawa mesra di
antara kerumunan manusia lainnya. Langkahku semakin mendekat. Aku makin yakin,
kalau aku pasti bisa. Setidaknya untuk sekedar mengucapkan selamat.
“Hai, Zeze, Reno, aku sudah memenuhi undangan kalian berdua.
Selamat, ya. Aku bahagia sekali melihat kalian.” Aku mengucapkannya dengan mudah.
Hatiku bertepuk riang atas keberanianku. Tapi kalian berdua justru menatapku
dengan pandangan seolah bertanya. Mungkin kalian fikir aku tidak akan mampu
bersikap seperti itu. Sesaat kita terdiam.
“Terima kasih, Bintang. Em, Bintang ... “
“Maaf, aku gak bisa lama-lama disini. Aku harus segera pulang,
maaf, ya. Sekali lagi selamat.” Kali ini aku tidak bisa berbohong lagi, meski
aku terus memamerkan senyumku tapi nada suaraku bergetar. Aku lelah, aku ingin
segera melepaskan beban ini. Sekuat tenaga aku berusaha lari dari tempat itu.
Namun, usaha itu sia-sia saat seseorang menarik tanganku.
Aku masih terisak dalam tangisku. Kejadian hari ini benar-benar
menyiksa hati. Sesak. Aku lelah terus memakai topeng, inilah aku tanpa
kepura-puraanku. “Maaf, kalau aku ingkar janji.”
“Gak, Bintang. Menangislah sepuasmu jika itu akan membuatmu lega,
tapi berjanjilah esok kamu akan kembali tertawa seperti biasanya. Berteriaklah
sepuasmu, lepaskan semua beban kamu. Aku tahu kamu gak setegar apa yang
terlihat. Kamu terlalu baik, Bintang.” Rendi menasehatiku dengan bijak. Dia
benar-benar semakin dewasa dengan pemikirannya.
Aku terus saja menangis, menumpahkan kesedihanku. Raungan rindu tak
terbalas, kasihku memilih pergi. Ini akan berdosa jika terus ku pertahankan.
Dia bukan milikku lagi. Mulai saat ini aku harus belajar untuk melepaskan
sesuatu yang bukan milikku.
Rasa rinduku pada Reno biarlah menjadi sesuatu yang akan terlupakan
nantinya. Kisahku pun biarlah hanya menjadi kenangan. Aku bisa menjalani
hidupku tanpa dia. Toh, selama ini aku bisa. Aku hanya perlu bersyukur atas
kejadian ini, karena Allah tidak mungkin menguji di luar batas kemampuanku.
Mungkin ini teguran untukku, karena selama ini aku terlalu membagi waktu dan
hati antara dia dan Allah.
Dan malam ini, biarkan sejenak aku bersandar pada malam. Malam yang
akan membawa rasa ini pergi.
“Berjanjilah, setelah ini kamu akan kembali menjadi Bintang yang
aku kenal.”
“Aku janji, Rendi, besok kamu akan menemukanku dengan senyum
terindah yang aku miliki.”

