Surat Untuk Sahabat
By Ranita Oktavia
By Ranita Oktavia
“Kamu nulis surat lagi, Fy ?”
Gadis yang di
tanya hanya mengulum senyum, tanpa menjawab. Ia masih fokus dengan apa yang di
tulisnya. Sesekali ia tertawa dan cemberut sendiri.
“Zaman udah modern
kali, Fy. Udah ada handphone tinggal masuk aplikasi pesan ketik langsung kirim
nggak lama juga pasti balasannya masuk. Jejaring sosial juga ada di mana-mana.
Kenapa nggak pakai yang praktis aja. Kenapa justru milih yang ribet ?”
“Alasannya simpel,
ada kenikmatan tersendiri saat kita menulis untuk orang yang istimewa.” Jelas
gadis itu, sambil mengeluarkan beberapa amplop yang masih rapi. Surat itu baru
sampai tadi pagi dan belum sempat dibacanya karena bergegas untuk berangkat
sekolah.
Nina diam. Sudah
sering sekali ia berdebat dengan Ify soal surat yang hampir setiap hari di
tulis dan di baca gadis itu. Beberapa surat memang Ify kirimkan untuk penerima
surat yang jelas. Surat itu untuk sahabat-sahabat penanya. Tapi Ify juga sering
menuliskan surat untuk orang yang Nina sendiri tidak tahu. Pernah Nina mencoba
membaca secara diam-diam surat itu namun sebelum sempat terbaca Nina ketahuan
dan Ify marah besar padanya. Entah apa yang Ify tulis. Yang pasti gadis itu
selalu memasukkan surat yang di tulisnya ke dalam amplop berwarna biru dan di
lem dengan rapi.
Ify selalu
tersenyum saat ia menulis surat untuk orang misterius itu. Berbeda dengan saat
ia menulis surat untuk mereka yang jelas sesekali wajah Ify bisa merona
bahagia, sedih dan ekspresi lainnya.
“Surat itu nggak
jadul kok, Nin. Coba aja kalau kamu nggak percaya. Perasaan penulisnya justru
lebih berasa lewat tulisan tangan.” Ujar Ify suatu hari.
“Fy, aku boleh
nanya sesuatu sama kamu ?”
Ify mengangguk dan
menghentikan aksi menulisnya.
“Surat beramplop
biru untuk siapa, Fy ?”
Rona wajah Ify
sontak berubah dari yang tadinya ceria berangsur-angsur muram.
“Aku nggak
bermaksud makasa kamu buat cerita, aku cuma penasaran. Hampir setiap hari kamu
nulis surat tapi satu-satunya surat yang nggak pernah kamu kirim cuma yang beramplop
biru. Ia terlihat lebih spesial dari yang lainnya. Aku sahabat kamu, Fy.
Mungkin aku salah sering mendesak kamu untuk cerita siapa si empunya surat itu.
Tapi kasih aku alasan kenapa kamu nggak mau cerita?
“Suatu saat kamu
akan tahu dengan sendirinya.”
Beberapa hari
setelah perdebatan itu Ify menghilang. Ia tidak masuk sekolah juga tidak ada di
rumah. Di rumah Ify tidak ada orang. Nina sangat cemas. Ify tidak punya handphone
yang bisa di hubungi. Kedua orang tua dan kakak Ify pun juga tidak bisa di
hubungi selalu saja suara operator yang menyambut setiap kali Nina menghubungi.
Sejak Ify
menghilang Nina sering uring-uringan. Rasa cemas dan takutnya bercampur satu.
“Nin, kamu udah buat pr fisika ?” Tanya Raya di sela lamunannya. Yang di tanya
hanya menggeleng. “Buruan buat Nin, bentar lagi bel kamu bisa habis di hukum
kalau nggak buat pr.”
Segera Nina
mengeluarkan buku fisikanya, namun saat ia membuka lembaran buku itu ada
sepucuk surat beramplop biru tergeletak. Nina sangat mengenali surat itu dan
segera membacanya. Tangisnya pecah. Segera ia berlari menjauhi gedung sekolah menuju rumah sakit di mana
sahabatnya di rawat sekarang.
Tiba di depan
ruang ICU Nina berlari mendekati bunda Ify yang menangis di pelukan ayah Ify.
“Ify sakit apa bun
?” Tanyanya.
Tidak ada jawaban.
Semua diam mematung. Tidak ada yang menjawab. Hingga seorang dokter menjawab
tanyanya, “Ify sudah pergi.”
Pusara itu masih
basah. Baru beberapa detik lalu satu per satu pelayat meninggalkan gundukan
tanah tempat jasad Ify bersemayam kini. Suasana duka sangat kental di sana. Nina
masih belum percaya dengan kepergian sahabatnya yang begitu mendadak.
Sepulang dari
pemakaman, Yusuf memberi Nina kotak berwarna biru. Dia bilang itu titipan Ify.
Segera Nina membukanya, setumpuk surat beramplop biru yang dulu sering di
pertanyakannya kini ada di depan mata. Di depan amplop itu bertuliskan hari dan
tanggal kapan pengirim surat menuliskannya.
Satu per satu
surat itu di baca Nina. Ia menangis tersedu-sedu. Ia baru tahu jika yang Ify
tulis ialah cerita tentang mereka berdua serta penyakitnya. Hingga pada surat
terakhir.
Dear sahabatku,
Kamu pasti udah
tahu semuanya dari surat-surat sebelumnya.
Sekarang aku udah nggak bisa larang kamu buat baca semua surat ini.
Karena memang aku udah nggak punya alasan. Dulu kamu sering tanya surat ini
untuk siapa. Surat ini untuk kamu. Dan kenapa aku lebih milih surat. Itu karena
aku mau kamu tahu kalau aku bahagia menulis untuk sahabatku. Seperti yang
pernah aku bilang tulisan seseorang itu cerminan keadaan hatinya. Kamu bisa
menebak sendiri gimana perasaan aku saat menulis surat ini. Jaga diri baik-baik
ya. Oh, ya aku tunggu balasan surat dari kamu. hehe
Sahabatmu
Ify

Tidak ada komentar:
Posting Komentar