Sabtu, 23 Mei 2015

Surat Untuk Sahabat

Surat Untuk Sahabat
By Ranita Oktavia

            “Kamu nulis surat lagi, Fy ?”

            Gadis yang di tanya hanya mengulum senyum, tanpa menjawab. Ia masih fokus dengan apa yang di tulisnya. Sesekali ia tertawa dan cemberut sendiri.

            “Zaman udah modern kali, Fy. Udah ada handphone tinggal masuk aplikasi pesan ketik langsung kirim nggak lama juga pasti balasannya masuk. Jejaring sosial juga ada di mana-mana. Kenapa nggak pakai yang praktis aja. Kenapa justru milih yang ribet ?”

            “Alasannya simpel, ada kenikmatan tersendiri saat kita menulis untuk orang yang istimewa.” Jelas gadis itu, sambil mengeluarkan beberapa amplop yang masih rapi. Surat itu baru sampai tadi pagi dan belum sempat dibacanya karena bergegas untuk berangkat sekolah.

            Nina diam. Sudah sering sekali ia berdebat dengan Ify soal surat yang hampir setiap hari di tulis dan di baca gadis itu. Beberapa surat memang Ify kirimkan untuk penerima surat yang jelas. Surat itu untuk sahabat-sahabat penanya. Tapi Ify juga sering menuliskan surat untuk orang yang Nina sendiri tidak tahu. Pernah Nina mencoba membaca secara diam-diam surat itu namun sebelum sempat terbaca Nina ketahuan dan Ify marah besar padanya. Entah apa yang Ify tulis. Yang pasti gadis itu selalu memasukkan surat yang di tulisnya ke dalam amplop berwarna biru dan di lem dengan rapi.

            Ify selalu tersenyum saat ia menulis surat untuk orang misterius itu. Berbeda dengan saat ia menulis surat untuk mereka yang jelas sesekali wajah Ify bisa merona bahagia, sedih dan ekspresi lainnya.

            “Surat itu nggak jadul kok, Nin. Coba aja kalau kamu nggak percaya. Perasaan penulisnya justru lebih berasa lewat tulisan tangan.” Ujar Ify suatu hari.

            “Fy, aku boleh nanya sesuatu sama kamu ?”

            Ify mengangguk dan menghentikan aksi menulisnya.

            “Surat beramplop biru untuk siapa, Fy ?”

            Rona wajah Ify sontak berubah dari yang tadinya ceria berangsur-angsur muram.

            “Aku nggak bermaksud makasa kamu buat cerita, aku cuma penasaran. Hampir setiap hari kamu nulis surat tapi satu-satunya surat yang nggak pernah kamu kirim cuma yang beramplop biru. Ia terlihat lebih spesial dari yang lainnya. Aku sahabat kamu, Fy. Mungkin aku salah sering mendesak kamu untuk cerita siapa si empunya surat itu. Tapi kasih aku alasan kenapa kamu nggak mau cerita?

            “Suatu saat kamu akan tahu dengan sendirinya.”

            Beberapa hari setelah perdebatan itu Ify menghilang. Ia tidak masuk sekolah juga tidak ada di rumah. Di rumah Ify tidak ada orang. Nina sangat cemas. Ify tidak punya handphone yang bisa di hubungi. Kedua orang tua dan kakak Ify pun juga tidak bisa di hubungi selalu saja suara operator yang menyambut setiap kali Nina menghubungi.

            Sejak Ify menghilang Nina sering uring-uringan. Rasa cemas dan takutnya bercampur satu. “Nin, kamu udah buat pr fisika ?” Tanya Raya di sela lamunannya. Yang di tanya hanya menggeleng. “Buruan buat Nin, bentar lagi bel kamu bisa habis di hukum kalau nggak buat pr.”

            Segera Nina mengeluarkan buku fisikanya, namun saat ia membuka lembaran buku itu ada sepucuk surat beramplop biru tergeletak. Nina sangat mengenali surat itu dan segera membacanya. Tangisnya pecah. Segera ia berlari menjauhi  gedung sekolah menuju rumah sakit di mana sahabatnya di rawat sekarang.

            Tiba di depan ruang ICU Nina berlari mendekati bunda Ify yang menangis di pelukan ayah Ify.

            “Ify sakit apa bun ?” Tanyanya.

            Tidak ada jawaban. Semua diam mematung. Tidak ada yang menjawab. Hingga seorang dokter menjawab tanyanya, “Ify sudah pergi.”

            Pusara itu masih basah. Baru beberapa detik lalu satu per satu pelayat meninggalkan gundukan tanah tempat jasad Ify bersemayam kini. Suasana duka sangat kental di sana. Nina masih belum percaya dengan kepergian sahabatnya yang begitu mendadak.

            Sepulang dari pemakaman, Yusuf memberi Nina kotak berwarna biru. Dia bilang itu titipan Ify. Segera Nina membukanya, setumpuk surat beramplop biru yang dulu sering di pertanyakannya kini ada di depan mata. Di depan amplop itu bertuliskan hari dan tanggal kapan pengirim surat menuliskannya.

            Satu per satu surat itu di baca Nina. Ia menangis tersedu-sedu. Ia baru tahu jika yang Ify tulis ialah cerita tentang mereka berdua serta penyakitnya. Hingga pada surat terakhir.

            Dear sahabatku,
            Kamu pasti udah tahu semuanya dari surat-surat sebelumnya.
Sekarang aku udah nggak bisa larang kamu buat baca semua surat ini. Karena memang aku udah nggak punya alasan. Dulu kamu sering tanya surat ini untuk siapa. Surat ini untuk kamu. Dan kenapa aku lebih milih surat. Itu karena aku mau kamu tahu kalau aku bahagia menulis untuk sahabatku. Seperti yang pernah aku bilang tulisan seseorang itu cerminan keadaan hatinya. Kamu bisa menebak sendiri gimana perasaan aku saat menulis surat ini. Jaga diri baik-baik ya. Oh, ya aku tunggu balasan surat dari kamu. hehe
                                                                                                Sahabatmu
                                                                                                      Ify

Tidak ada komentar:

Posting Komentar