Minggu, 24 Mei 2015

Aku Janji

Aku Janji
Oleh Ranita Oktavia

Apa harus aku bertahan, sedang kamu tak lagi pernah memberiku kabar?

Sendiri di temani secangkir kopi hangat dan sebuah novel. Rerintik hujan di luar masih setia bersenandung, harmoni alam yang sungguh indah semakin menghanyutkan dalam dunia kecilku. Hawa dingin mulai menusuk tulangku. Sesekali aku tersenyum, berharap akhir kisahku akan sama seperti ending cerita yang kubaca. Sang tokoh utama yang masih tetap tersenyum meskipun masalah datang silih berganti.

Aku menyunggingkan senyum kecut, mencoba menarik urat-urat pipi 3 cm ke kiri dan 3 cm ke kanan. Dua minggu tanpa kabar darimu, aku masih menanggapi dengan positif mungkin kamu sedang sibuk. Aku cemas tapi tak ingin bertindak gegabah. Aku takut tapi tetap tak mau menuduhmu dengan prasangka. Aku khawatir tapi percayaku untukmu jauh lebih besar. Dan akhirnya lagi lagi aku memilih diam.

Hujan masih setia dengan nyanyiannya. Sepertinya kali ini bumi benar-benar ingin menumpahkan semua kesedihan yang ia punya. Ku lirik sekeliling, hanya ada beberapa orang di sekitarku yang masih bertahan di sini. Pandanganku jatuh pada dua orang muda-mudi yang tengah bercengkarama, bahagianya mereka fikirku. Hatiku berdesir, kembali menemukanmu dalam memoriku. Seandainya kamu ada disini mungkin aku tidak akan merasa begitu kesepian.

Berkali-kali aku berucap rindu, sesering apa pun aku menangis pilu. Kamu tetap tidak akan menghubungiku segera. Terkadang aku iri melihat orang-orang di sekitarku bisa melepas rindu dengan mudahnya, bercengkrama setiap hari. Tertawa tanpa beban. Meski begitu aku tetap bertahan, karena menurutku rasa rindu itu indah bila di nikmati dan bila waktunya nanti kita akan bertemu. Saat itulah segala rasa akan bercampur baur menjadi satu yang akhirnya akan bermuara pada kebahagiaan. Buah sabar itu manis, begitu katamu.

Hari-hari kemudian, aku masih tanpamu. Tetap sendiri dan bertahan dengan hatiku. Seringkali aku bertanya pada malam, apa mungkin kamu tidak sedang sendiri disana? Apa mungkin kamu lupa aku?

“Hai...” aku menoleh, suara yang tidak asing bagiku. Ya, siapa lagi dia kalau bukan sahabatku, Rendi. Aku hanya menyambut sapaannya dengan senyuman yang sedikit di paksakan. “Pasti mikirin dia lagi.  Coba kamu telepon dia lagi sekarang, mungkin nomornya sudah aktif.”

“Percuma, Ren.”

“Rendi...Bintang... Aku cari kalian dari tadi, ternyata malah di sini?” Zeze berteriak dengan suara khasnya.

“Aduh, pagi-pagi suaranya masih aja gak bisa di kontrol. Untung gak rubuh nih gedung neng.” Tanggap Rendi.

“Apaan sih, Ren? Gini-gini aku kan cantik.”

“Gak nyambung.”

Dua orang di hadapanku inilah yang setiap hari selalu ada untukku. Menghibur dengan banyolan-banyolan ringan yang renyah. Mereka obat paling ampuh untuk hati yang gamang. Tertawa bersama mereka ialah hal paling menyenangkan yang pernah ada. Tanpa beban, tanpa rasa takut dan khawatir dikarenakan kamu.

Setiap kali namamu terlintas dalam benakku rasa takut dan cemas itu selalu datang lagi. Jujur aku takut kehilanganmu. Walaupun berkali-kali aku meyakinkan diri, kamu disana memang benar-benar sedang serius dengan sekolahmu, tapi tetap saja rasa curiga itu selalu menghantuiku. Hampir satu bulan, tapi kamu tetap tidak punya waktu untuk sekedar mengatakan kamu baik-baik saja disana.

Aku memang tidak setegar tokoh-tokoh wanita di novel yang sering aku baca. Dan kamu pasti tahu itu.

“Bintang, maaf ya.” Zeze berucap tiba-tiba.

“Maaf? Buat apa, Ze?”

“Semuanya, Bintang.” Zeze tertunduk. Wajah cerianya tadi berangsur-angsur menghilang berganti penyesalan yang entah aku sendiri tidak tahu kenapa.

“Apa pun itu, selalu ada maaf untuk sahabatku.” Zeze spontan memelukku.

“Kok, jadi mellow gini, sih. Udah, ah. Mending dengerin aku nyanyi aja, deh.” Tanpa ada persetujuaan dari aku dan Zeze, Rendi sudah bermain dengan gitarnya. Suara merdunya, menyihirku. Sabar, lagu yang di populerkan Afgan itulah yang di mainkan Rendi. Rasa nyaman membuatku hanyut dalam setiap ritme yang di perdengarkan. Dan sekali lagi, tanpa kamu tahu aku berharap kalau yang ada di hadapanku kini adalah kamu.

Sebentar lagi aku akan lulus SMA tapi kamu masih belum memberiku kabar. Aku makin bimbang. Sikapmu tak tertebak. Bahkan Zeze pun kini mulai menjauh, entah apa salahku. Sepertinya kalian berdua benar-benar kompak berencana untuk pergi.

Setiap kali berpapasan, setiap kali itu pula Zeze mengindari aku. Seharusnya di akhir putih abu-abu ini kita mengukir kisah-kisah indah bukan justru saling menutup diri.

“Ren, Zeze kenapa, sih? Tiap kali ketemu aku, pasti dia mengindar.” Suatu hari aku bertanya pada Rendi. Namun Rendi hanya mengangkat bahunya menandakan ia pun tidak tahu.

“Bintang, kalau suatu saat nanti kita pisah kamu harus jaga diri baik-baik, ya.”

“Kok, gitu sih? Kamu kan udah janji sama aku, kalau kita bakal satu universitas nanti.”

“Tapi aku harus pergi, Bintang. Aku harus ikut orang tua aku ke Kalimantan. Maaf, ya.” Ku lirik Rendi, raut wajahnya terlihat sedih. Ia tidak sedang berbohong, ia jujur. Satu lagi orang spesialku memilih pergi. “Kamu baik-baik aja kan, Bintang.” Aku hanya mengangguk lemah. “Jaga hati kamu, ya. Jangan sering sedih, kamu harus kayak bintang yang tetap bersinar sekalipun langit itu sunyi. Jangan keseringan mikirin dia, karena dia juga belum tentu mikirin kamu. Kamu harus kuat. Ingat aku selalu ada di dekat kamu, disini.” Rendi berucap lagi, kali ini sambil menunjuk dadanya tempat hatinya  tersimpan.

“Aku janji, aku akan selalu tersenyum dalam keadaan apa pun.”

Batinku menangis, menyadari kisah itu telah lama berlalu. Hampir enam tahun yang lalu. Saat terakhir kali berpapasan dengan Zeze pun pertemuan terakhirku dengan Rendi. Dan aku masih memegang janjiku, aku akan tetap tersenyum.

Enam tahun yang lalu juga, aku tidak pernah mendengar kabar darimu lagi. Cinta pertamaku yang sampai saat ini masih tetap aku pertahankan kedudukannya di hatiku. Entah ini memang cinta atau hanya obsesi semata, yang kutahu bersabar itu indah. Menutup hati untuk semua orang, hanya demi orang yang tak berhati sepertimu.

Aku ingin menangis, namun percuma. Itu takkan mendatangkanmu kehadapanku. Aku ingin menyusulmu, namun dimana kamu berpijak sekarang pun aku tidak tahu. Bahkan mungkin saat aku menemukanmu nantinya, kamu sudah tidak mengenaliku lagi. Fikiran negatif penuh kecurigaan yang pada akhirnya selalu kutepis hingga menarik kesimpulan jodoh pasti bertemu.

“Bintang, kamu masih ingat Rendi, kan?” Indah membuyarkan lamunanku.

“Ya, iyalah, In. Emang kenapa?”

“Aku dengar dia mau pulang kesini.”

“Bener?”

“Iya...”

Tidak ada yang lebih bahagia, selain mendengar kepulangan sahabat tersayang. Kabar yang entah kapan akan terwujud itu, telah mengukirkan satu harapan di hati. Setidaknya satu orang yang paling ku tunggu akan segera pulang.

Satu-satunya yang tersisa memang hanya harapan. Karena sabar hampir kehilangan tempat.

“Bintang, ini ada titipan buat kamu,” lelaki berkaca mata itu memberikan sesuatu.

“Dari siapa?”

“Aku juga gak kenal. Dia cuma bilang tolong kasih ini sama Bintang.”

“Oh, gitu. Makasih, ya.” Sebisa mungkin aku mencoba tersenyum, padahal sejujurnya entah kenapa rasanya aku ingin sekali menangis.

Perlahan ku robek plastik pembungkus benda itu. Setelah terbuka, ternyata sebuah undangan dan surat kutemukan di dalamnya. Air mataku luruh seketika, apa yang aku takutkan terjadi jua. Panantianku berbalas duka. Enam tahun menghilang tanpa kabar, enam tahun memilih menjauh dariku inikah jawabannya. Tubuhku lemas seketika, terbujur kaku di antara hujan.

Zeze dan Reno akan bertunangan malam ini. Apa ini arti dari permintaan maaf Zeze sebelum dia menjauhiku.

Tidak. Kenapa aku harus bersedih, bukankah selama ini aku bisa tanpa mereka. Selama ini aku tertawa bukan karena mereka. Seharusnya aku gembira mendengar kabar ini. Zeze yang dulu selalu bersikap acuh pada lelaki, kini sudah menemukan tambatan hatinya. Dan itu Reno, orang yang paling aku rindukan kehadirannya.

Senyum dan tangis menyatu. Lagi lagi aku harus tetap mencoba kuat. Aku harus tersenyum, itu janjiku. Ku sobek paksa amplop biru pemberian itu.

Dear Bintang
Maaf, kalau aku terlalu lama membuatmu menunggu. Maaf, karena tak pernah ada kabar yang ku suguhkan untukmu. Maaf, jika aku harus hadir bersamaan dengan kabar ini. Aku memilih menjauh darimu secara perlahan, karena aku takut kamu akan sedih karena hal ini. Bintang, berjanjilah kamu akan datang saat pesta pertunanganku nanti. Aku merindukan kamu, Bintang.
                                                                                                Salam rindu
                                                                                                    Reno

Air mata kembali menganak sungai, kamu tahu tidak ada hal paling menyedihkan selain di bohongi bagiku saat ini. Kamu tahu enam tahun penantianku hanya terbuang percuma. Aku bodoh menunggu orang yang sama sekali tidak pernah mempedulikanku. Benar kata Rendi saat itu, aku tidak boleh terlalu sering memikirkan kamu yang belum tentu memikirkanku. Kamu benar-benar salah Reno, justru caramu yang seperti inilah yang lebih menyakitkan untukku. Lihatlah aku sekarang, Bintang yang kamu kenal tak lebih dari kupu-kupu yang kehilangan warnanya.

Rasaku, memang bukan rasamu Reno. Tapi apa salahnya kamu tidak bertindak seegois ini padaku. Apa salahnya, dulu kamu memberiku penjelasan agar aku tidak berharap banyak padamu. Kamu jahat, Reno.

Berbekal tekad, kuyakinkan hati untuk tetap melangkah di antara mereka yang turut berbahagia atas kalian. Tidak ada orang lain yang ku cari selain kalian berdua. Hingga ku temukan kalian yang sedang tertawa mesra di antara kerumunan manusia lainnya. Langkahku semakin mendekat. Aku makin yakin, kalau aku pasti bisa. Setidaknya untuk sekedar mengucapkan selamat.

“Hai, Zeze, Reno, aku sudah memenuhi undangan kalian berdua. Selamat, ya. Aku bahagia sekali melihat kalian.” Aku mengucapkannya dengan mudah. Hatiku bertepuk riang atas keberanianku. Tapi kalian berdua justru menatapku dengan pandangan seolah bertanya. Mungkin kalian fikir aku tidak akan mampu bersikap seperti itu. Sesaat kita terdiam.

“Terima kasih, Bintang. Em, Bintang ... “

“Maaf, aku gak bisa lama-lama disini. Aku harus segera pulang, maaf, ya. Sekali lagi selamat.” Kali ini aku tidak bisa berbohong lagi, meski aku terus memamerkan senyumku tapi nada suaraku bergetar. Aku lelah, aku ingin segera melepaskan beban ini. Sekuat tenaga aku berusaha lari dari tempat itu. Namun, usaha itu sia-sia saat seseorang menarik tanganku.

Aku masih terisak dalam tangisku. Kejadian hari ini benar-benar menyiksa hati. Sesak. Aku lelah terus memakai topeng, inilah aku tanpa kepura-puraanku. “Maaf, kalau aku ingkar janji.”

“Gak, Bintang. Menangislah sepuasmu jika itu akan membuatmu lega, tapi berjanjilah esok kamu akan kembali tertawa seperti biasanya. Berteriaklah sepuasmu, lepaskan semua beban kamu. Aku tahu kamu gak setegar apa yang terlihat. Kamu terlalu baik, Bintang.” Rendi menasehatiku dengan bijak. Dia benar-benar semakin dewasa dengan pemikirannya.

Aku terus saja menangis, menumpahkan kesedihanku. Raungan rindu tak terbalas, kasihku memilih pergi. Ini akan berdosa jika terus ku pertahankan. Dia bukan milikku lagi. Mulai saat ini aku harus belajar untuk melepaskan sesuatu yang bukan milikku.

Rasa rinduku pada Reno biarlah menjadi sesuatu yang akan terlupakan nantinya. Kisahku pun biarlah hanya menjadi kenangan. Aku bisa menjalani hidupku tanpa dia. Toh, selama ini aku bisa. Aku hanya perlu bersyukur atas kejadian ini, karena Allah tidak mungkin menguji di luar batas kemampuanku. Mungkin ini teguran untukku, karena selama ini aku terlalu membagi waktu dan hati antara dia dan Allah.

Dan malam ini, biarkan sejenak aku bersandar pada malam. Malam yang akan membawa rasa ini pergi.

“Berjanjilah, setelah ini kamu akan kembali menjadi Bintang yang aku kenal.”

“Aku janji, Rendi, besok kamu akan menemukanku dengan senyum terindah yang aku miliki.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar