Selasa, 28 Juli 2015

[Review] Api Tauhid



Judul                           :  Api Tauhid
Penulis                         :  Habiburrahman El Shirazy
Editor                          :  Syahruddin El-Fikri
Penerbit                       :  Republika
Cetakan ketujuh          :  Februari 2015
Tebal                           :  588 halaman

            Membaca novel Kang Abik yang berjudul Api Tauhid ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Novel sejarah yang dibumbui petualangan enam orang anak muda demi meraih cinta Illahi. Petualangan Fahmi, Subki, Hamza, Bilal, Aysel, dan Emel benar-benar membuat saya merasa sedang berkeliling Turki dan menjadi salah satu saksi bagaimana Islam dulu pernah berjaya di dan pelan-pelan mengalami kehancuran yang menyisakan kepedihan mendalam bagi seluruh umat Muslim di dunia.

            Kisah ini membuat saya jadi teringat kata-kata guru saya saat masih di Madrasah Aliyah dulu, sebagai umat Muslim kita seharusnya bangga memiliki para pemimpin yang begitu luar biasa. Dan para pejuang yang tidak kalah hebat dibanding ahli-ahli teknologi di Barat sana. Karena jauh sebelum teknologi berkembang seperti sekarang, justru umat Muslim yang lebih dulu menemukan berbagai ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh orang-orang sukses di dunia, cukup bercermin pada sejarah kita sendiri, bagaimana Rasulullah berjuang menyebarkan agama Allah. Kita umat Muslim harus membuka mata selebar-lebarnya dan mempertajam pendengaran.

Bahkan negeri kita ini, tanah air Indonesia di prediksi sebagai tempat dimana Islam akan kembali bangkit. Lalu, pantaskah kita sebagai generasi muda berdiam diri saja?

Jawabannya adalah tidak. Kita tidak boleh menjadi penonton saja, kita harus ikut menjadi pelaku dalam proses kebangkitan Islam ini.

Saya sangat terharu setiap kali guru saya itu mencoba membangkitkan semangat kami, suaranya yang selalu menggebu-gebu saat menceritakan keagungan Islam, beliau juga pernah meneteskan air mata saat menceritakan sejarah Islam.

Seperti halnya Kang Abik yang mencoba membangkitkan semangat umat Islam melalui bukunya yang berjudul Api Tauhid. Cerita sejarah yang dibalut dengan kehidupan anak muda zaman sekarang.

Tokoh Fahmi yang pada awalnya bingung dalam menentukan pilihan antara Nur Jannah putri pak camat yang salihah dan Nuzula putri Kyai Arselan, dengan syarat mereka menikah secara siri dulu dengan dalih Nuzula yang malu mengatakan status menikah selagi ia masih kuliah. Dan akhirnya Fahmi memutuskan untuk memilih Nuzula. Baru beberapa waktu setelah pernikahan siri-nya dengan Nuzula, Fahmi  diminta menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Alhasil Fahmi menjadi bingung sehingga memilih iktikaf di Masjid Nabawi dan jatuh sakit.

Saya sangat suka dengan alur yang diciptakan Kang Abik, cerita yang tidak monoton. Cocok untuk pembaca yang juga menyukai sisi sejarah.

Hamza teman Fahmi yang berasal dari Turki mengajak Fahmi dan Subki berlibur di negara asalnya, sekaligus memperlihatkan sejarah peninggalan Islam di Turki. Fahmi yang memang selalu tertarik mengenai sejarah tentu saja langsung mengiyakan ajakan Hamza. Dari sanalah petualangan yang sebenarnya dimulai.

Said Nursi kecil adalah sosok yang haus pengetahuan, cerdas, juga berani. Terbukti dari keinginannya untuk belajar di usia yang saat itu terbilang masih kecil ia memutuskan untuk ikut kakaknya menuntut ilmu di madrasah yang ada di desa tetangga. Bahkan ia menjadi murid paling kecil di madrasahnya, meski begitu Said Nursi adalah murid paling cerdas disana. Karena kecerdasannya itulah banyak murid-murid lain merasa iri pada Said kecil.

Berkali-kali Said kecil berpindah madrasah, karena kehausannya pada pengetahuan. Bahkan ia terlihat lebih menonjol di banding kakaknya.

Pada masa awal Said Nursi muda beliau sudah banyak memperlihatkan kehebatannya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun beliau sudah hapal puluhan kitab yang pada umumnya para ulama baru bisa memahami kitab-kitab itu di usia 40 tahunan. Sedangkan Said Nursi cukup menghapal dan memahaminya dalam hitungan hari saja. Karena hal itulah gurunya memberi ia gelar Badiuzzaman, yang berarti keajaiban zaman ini.

Awal abad 19, Said Nursi mengusulkan sistem pendidikan yang mengandung tiga aspek yaitu, aspek tilawah (pengenalan, pemahaman, dan penghayatan ayat-ayat Allah), aspek tazkiyah (pembersihan hati dan penyucian jiwa), dan aspek ta’lim (pengajaran). Beliau juga ingin membangun Medresetuz Zahra yang menggabungkan tiga hal itu, yaitu madrasah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan sufi yang membina penyucian jiwa dan kehalusan adab.

Said Nursi benar-benar ingin merealisasikan keinginannya itu. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Said Nursi pergi ke Istanbul dan berencana ingin menemui langsung Sultan. Sayangnya ia tidak mendapat izin. Saat itu Sultan meneruskan kebijakan pendidikan yang berkiblat kepada Eropa, sehingga lahirlah Young Turk Movement. Mereka itulah yang nantinya melakukan pembubaran khilafah. Dan pada saat Sultan menyadarinya, kondisinya sudah terlambat.

Generasi muda didikan Eropa itu tidak hanya melengserkan Sultan Abdul Hamid II tapi juga mengakhiri Khilafah Ustmaniyah pada 3 Maret 1924.

Disini saya sangat terharu juga malu pada diri sendiri, semangat Badiuzzaman Said Nursi yang menggebu-gebu demi kemashalatan umat Muslim patut di apresiasi. Seandainya saat itu keinginan Badiuzzaman Said Nursi bisa direalisasikan, mungkin kondisinya akan lebih baik.

Sejak Turki dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk yang  sekuler, umat Muslim di seluruh dunia benar-benar dalam kegelapan yang panjang. Wanita dilarang berjilbab, simbol-simbol Islam dihapuskan, Adzan tidak boleh menggunakan bahasa Arab, Al-Qur’an tidak boleh menggunakan tulisan Arab dan membacanya juga tidak boleh menggunakan bahasa Arab, surat kabar diganti menggunakan tulisan latin. Semua itu dengan tujuan untuk menghilangkan jejak Islam dari bumi Turki.

Badiuzzaman Said Nursi dengan imannya berdiri paling depan demi membela Islam. Karena hal itulah orang-orang yang tidak menyukainya mengasingkan beliau. 25 tahun beliau berada di pengasingan, meski begitu tidak menyurutkan semangat Said Nursi untuk tetap memperjuangkan Islam. Dari sanalah karya besarnya Risalah Nur ditulis. Setiap malam para murid Said Nursi mencacat setiap kata yang didiktekan sang guru. Tulisan-tulisan itu pun di salin dari rumah ke rumah, desa ke desa, bahkan kota ke kota.

Kisah perjuangan Islam memang selalu menarik. Badiuzzaman Said Nursi tidak pernah berdakwah dengan kekerasan, beliau berdakwah dengan cinta. Sosoknya patut menjadi cerminan bagi generasi muda sekarang.

Kutipan yang paling saya suka dari Said Nursi adalah, “Bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak untuk dimusuhi dalah permusuhan itu sendiri.

Ending dari novel ini membuat saya cukup terkejut. Sungguh tidak tertebak, Kang Abik benar-benar lihai menyusun ceritanya. Romantis tapi tidak berlebihan. Sangat gurih untuk disantap para pembacanya yang merindu cinta Illahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar