Judul : Api Tauhid
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Editor : Syahruddin El-Fikri
Penerbit : Republika
Cetakan ketujuh : Februari 2015
Tebal : 588 halaman
Membaca novel Kang
Abik yang berjudul Api Tauhid ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Novel
sejarah yang dibumbui petualangan enam orang anak muda demi meraih cinta
Illahi. Petualangan Fahmi, Subki, Hamza, Bilal, Aysel, dan Emel benar-benar
membuat saya merasa sedang berkeliling Turki dan menjadi salah satu saksi
bagaimana Islam dulu pernah berjaya di dan pelan-pelan mengalami kehancuran
yang menyisakan kepedihan mendalam bagi seluruh umat Muslim di dunia.
Kisah ini membuat
saya jadi teringat kata-kata guru saya saat masih di Madrasah Aliyah dulu,
sebagai umat Muslim kita seharusnya bangga memiliki para pemimpin yang begitu luar
biasa. Dan para pejuang yang tidak kalah hebat dibanding ahli-ahli teknologi di
Barat sana. Karena jauh sebelum teknologi berkembang seperti sekarang, justru
umat Muslim yang lebih dulu menemukan berbagai ilmu pengetahuan.
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh orang-orang sukses di
dunia, cukup bercermin pada sejarah kita sendiri, bagaimana Rasulullah berjuang
menyebarkan agama Allah. Kita umat Muslim harus membuka mata selebar-lebarnya
dan mempertajam pendengaran.
Bahkan negeri kita ini, tanah air Indonesia di prediksi sebagai
tempat dimana Islam akan kembali bangkit. Lalu, pantaskah kita sebagai generasi
muda berdiam diri saja?
Jawabannya adalah tidak. Kita tidak boleh menjadi penonton saja,
kita harus ikut menjadi pelaku dalam proses kebangkitan Islam ini.
Saya sangat terharu setiap kali guru saya itu mencoba membangkitkan
semangat kami, suaranya yang selalu menggebu-gebu saat menceritakan keagungan
Islam, beliau juga pernah meneteskan air mata saat menceritakan sejarah Islam.
Seperti halnya Kang Abik yang mencoba membangkitkan semangat umat
Islam melalui bukunya yang berjudul Api Tauhid. Cerita sejarah yang dibalut
dengan kehidupan anak muda zaman sekarang.
Tokoh Fahmi yang pada awalnya bingung dalam menentukan pilihan
antara Nur Jannah putri pak camat yang salihah dan Nuzula putri Kyai Arselan,
dengan syarat mereka menikah secara siri dulu dengan dalih Nuzula yang malu
mengatakan status menikah selagi ia masih kuliah. Dan akhirnya Fahmi memutuskan
untuk memilih Nuzula. Baru beberapa waktu setelah pernikahan siri-nya dengan
Nuzula, Fahmi diminta menceraikan
istrinya tanpa alasan yang jelas. Alhasil Fahmi menjadi bingung sehingga
memilih iktikaf di Masjid Nabawi dan jatuh sakit.
Saya sangat suka dengan alur yang diciptakan Kang Abik, cerita yang
tidak monoton. Cocok untuk pembaca yang juga menyukai sisi sejarah.
Hamza teman Fahmi yang berasal dari Turki mengajak Fahmi dan Subki
berlibur di negara asalnya, sekaligus memperlihatkan sejarah peninggalan Islam
di Turki. Fahmi yang memang selalu tertarik mengenai sejarah tentu saja
langsung mengiyakan ajakan Hamza. Dari sanalah petualangan yang sebenarnya
dimulai.
Said Nursi kecil adalah sosok yang haus pengetahuan, cerdas, juga
berani. Terbukti dari keinginannya untuk belajar di usia yang saat itu
terbilang masih kecil ia memutuskan untuk ikut kakaknya menuntut ilmu di
madrasah yang ada di desa tetangga. Bahkan ia menjadi murid paling kecil di madrasahnya,
meski begitu Said Nursi adalah murid paling cerdas disana. Karena kecerdasannya
itulah banyak murid-murid lain merasa iri pada Said kecil.
Berkali-kali Said kecil berpindah madrasah, karena kehausannya pada
pengetahuan. Bahkan ia terlihat lebih menonjol di banding kakaknya.
Pada masa awal Said Nursi muda beliau sudah banyak memperlihatkan
kehebatannya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Di usianya yang baru menginjak 15
tahun beliau sudah hapal puluhan kitab yang pada umumnya para ulama baru bisa
memahami kitab-kitab itu di usia 40 tahunan. Sedangkan Said Nursi cukup
menghapal dan memahaminya dalam hitungan hari saja. Karena hal itulah gurunya
memberi ia gelar Badiuzzaman, yang berarti keajaiban zaman ini.
Awal abad 19, Said Nursi mengusulkan sistem pendidikan yang mengandung
tiga aspek yaitu, aspek tilawah (pengenalan, pemahaman, dan penghayatan
ayat-ayat Allah), aspek tazkiyah (pembersihan hati dan penyucian jiwa), dan
aspek ta’lim (pengajaran). Beliau juga ingin membangun Medresetuz Zahra yang
menggabungkan tiga hal itu, yaitu madrasah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu
modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan sufi yang membina
penyucian jiwa dan kehalusan adab.
Said Nursi benar-benar ingin merealisasikan keinginannya itu. Pada
masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Said Nursi pergi ke Istanbul dan
berencana ingin menemui langsung Sultan. Sayangnya ia tidak mendapat izin. Saat
itu Sultan meneruskan kebijakan pendidikan yang berkiblat kepada Eropa,
sehingga lahirlah Young Turk Movement. Mereka itulah yang nantinya melakukan
pembubaran khilafah. Dan pada saat Sultan menyadarinya, kondisinya sudah terlambat.
Generasi muda didikan Eropa itu tidak hanya melengserkan Sultan
Abdul Hamid II tapi juga mengakhiri Khilafah Ustmaniyah pada 3 Maret 1924.
Disini saya sangat terharu juga malu pada diri sendiri, semangat
Badiuzzaman Said Nursi yang menggebu-gebu demi kemashalatan umat Muslim patut
di apresiasi. Seandainya saat itu keinginan Badiuzzaman Said Nursi bisa direalisasikan,
mungkin kondisinya akan lebih baik.
Sejak Turki dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler, umat Muslim di seluruh dunia
benar-benar dalam kegelapan yang panjang. Wanita dilarang berjilbab,
simbol-simbol Islam dihapuskan, Adzan tidak boleh menggunakan bahasa Arab,
Al-Qur’an tidak boleh menggunakan tulisan Arab dan membacanya juga tidak boleh
menggunakan bahasa Arab, surat kabar diganti menggunakan tulisan latin. Semua
itu dengan tujuan untuk menghilangkan jejak Islam dari bumi Turki.
Badiuzzaman Said Nursi dengan imannya berdiri paling depan demi
membela Islam. Karena hal itulah orang-orang yang tidak menyukainya
mengasingkan beliau. 25 tahun beliau berada di pengasingan, meski begitu tidak
menyurutkan semangat Said Nursi untuk tetap memperjuangkan Islam. Dari sanalah
karya besarnya Risalah Nur ditulis. Setiap malam para murid Said Nursi mencacat
setiap kata yang didiktekan sang guru. Tulisan-tulisan itu pun di salin dari
rumah ke rumah, desa ke desa, bahkan kota ke kota.
Kisah perjuangan Islam memang selalu menarik. Badiuzzaman Said Nursi
tidak pernah berdakwah dengan kekerasan, beliau berdakwah dengan cinta.
Sosoknya patut menjadi cerminan bagi generasi muda sekarang.
Kutipan yang paling saya suka dari Said Nursi adalah, “Bahwa yang
paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak
untuk dimusuhi dalah permusuhan itu sendiri.”
Ending dari novel ini membuat saya cukup terkejut. Sungguh tidak
tertebak, Kang Abik benar-benar lihai menyusun ceritanya. Romantis tapi tidak
berlebihan. Sangat gurih untuk disantap para pembacanya yang merindu cinta
Illahi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar