Entah apa
yang kurasa sekarang semua bercampur, tak menentu. Terbesit sedikit keirian di
antaranya. Senyum yang baru tadi merekah tanpa beban, bahkan senyum itu baru
hadir kembali setelah ku kehilangannya beberapa waktu yang lalu. Aku sadar, aku
tak pantas untuk iri. Aku tahu dia pantas mendapatkannya. Dia wanita sempurna
untukmu, dia cinta pertamamu. Dia cantik, sangat cantik bahkan bukan hanya
fisiknya tapi juga hatinya.
Tuhan...
Pantaskah aku
iri padanya?
Dia yang di
kelilingi dan di puja banyak ikhwan dengan tulusnya. Ah, aku juga ingin seperti
itu Tuhan seperti dia bisa dicintai dengan tulus bukan hanya dijadikan mutiara
palsu.
Bolehkah aku
bercerita sayang, aku sedih sangat sedih. Bahkan aku terlalu iri dengannya.
Tepat beberapa saat setelah aku membaca tulisan indah penuh makna dan kenangan
yang ia rangkai dengan tulus untuknya. Hatiku terenyuh apakah rasa yang dulu ia
katakan padaku sama seperti yang ia rasakan untuknya. Sepertinya tidak, semua
berbeda. Aku bukanlah dia. Aku adalah aku dan takkan pernah menjelma seperti
dia. Aku bukan apa-apa di matanya, salahkah aku bila terfikir dalam benakku
bahwa ia hanya menjadikan ku pelampiasan cintanya.
Logika ku
seakan bermain, untuk apa ia membawaku masuk ke dalam hidupnya jika hanya
menjadikanku sebagai mutiara palsu yang tak pernah di anggap oleh hatinya.
Malam ini ku tumpahkan semuanya dan aku mulai paham, ku mulai mengerti ternyata
cintamu untuknya begitu tulus, bahkan begitu kuat dan tak seorang pun mampu
mengganti posisinya di singgasana hatimu.
Ah, Tuhan
kapankah bisa ku temui orang seperti dia yang mencinta dengan begitu tulus.
Bahkan bintang hatiku pun tak pernah setulus itu terhadapku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar